#maksakeunmaca
#onebookonemonth
#day02
Judul Buku: Marrying Daisy Bellamy
Penulis: Susan Wiggs
Jumlah Halaman: 533
Penerbit: Gramedia
Alih Bahasa: Nur Anggraini
Cetakan Agustus, 2014
Bagian Satu
Membaca buku ini seperti membaca tulisanku sendiri, begitu
banyak cabang yang menyertakan Dale, lelaki kecilku. Tentang bagaimana aku yang
dulu begitu nekatan, berkali-kali naik roller coaster atau ngedrift sejak SMP
tidak terlalu mengkhawatirkanku. Tetapi sejak punya Dale, mengendarai motorpun
rasanya aku segan, apalagi karena aku seorang ibu tunggal yang juga harus
bertindak sebagai ayah. Jadi rasa menjaga diri demi selalu ada untuk buah hati,
benar-benar hal yang absolut dikerjakan. Begitupun dengan Daisy, ia menjadi
begitu mudah khawatir.
Yang kurindukan adalah pertemanan yang cukup lama antara
Daisy dan Zach sejak semasa mereka SMA, kuliah, hingga kini mereka bekerja
bersama. Aku tidak dapat dengan leluasa melakukannya. Aku tidak dapat sebebas
Daisy kepada Zach karena yang terjadi di keluargaku, sebagian besar adalah tabu
di masyarakat Indonesia. Jadi aku memilih untuk berteman hanya sebatas kaca,
sebatas nomor telpon dan sosial media. Ada begitu banyak teman-teman baik yang merangkulku,
tetapi aku tidak akan bisa dengan mudah dekat dengan mereka, karena warisan
sifat keluargaku yang cenderung mudah menyakiti orang. Aku tidak ingin
menyakiti siapapun juga.
Menjalani hidup secara mundur, hidup yang dialami Daisy, itu
juga yang terjadi padaku. Saat teman-temanku menikmati masa sekolahnya, aku
harus berlaku dewasa dan selalu ada untuk ibu tiriku. Saat teman-temanku kuliah
dan mulai merasakan pengalaman pertama mencari kerja, aku justru cari kerja
dulu untuk membantu ibu tiri dan membiayai sekolah adikku yang dibantu oleh
eyangku. Baru setelah adikku lulus SMA, aku akhirnya bisa fokus menyelesaikan
kuliahku. Itupun dihambat oleh pengetahuan baru bahwa aku memiliki child trauma
setelah selamat dari hyperventilation syndrome dan panic attack yang hampir
merenggut nyawaku. Hingga akhirnya aku harus minggat dari keluarga selama 6
bulan, dan kembali dengan prestasi menerima beasiswa dan menyelesaikan 2
kontrak ikatan dinas sekaligus.
Yang membedakan antara Daisy denganku dalam mengambil
keputusan adalah aku selalu menggunakan logika dan tau konsekuensi dari setiap
keputusanku. Penyesalan atau memempertanyakan keputusanku di masa lalu, tidak
ada di dalam kamusku. Tidak yang terjadi pada Daisy, kerap kali ia berpikir
kembali apakah keputusannya di masa lalu benar.
Kurasa Daisy masih lebih beruntung, anaknya dapat bermalam
di rumah ayahnya dan Daisy bekerja dengan baik. Sayangnya tidak ada ayah untuk
dapat Dale panggil. Satu-satunya sosok ayah, ya ayahku. Yang sempat juga bukan
sosok ayah yang baik untukku. Persamaan lainnya denganku, adalah kendala Daisy
dalam mengejar impiannya, waktu. Ya tidak mudah sebagai ibu, berlaku juga
sebagai ayah. Tapi hidup memang tidak sepenuhnya milikku. Dari dulu selalu
tentang orang tuaku.
Kalau Daisy bisa menangis karena melihat pasangan yang
menikah dengan bahagia. Aku sepertinya sudah mati rasa. Tidak ada yang
menyenangkan dari arti sebuah pernikahan, karena hanya itu yang kutahu. Aku tau
derita anak dalam pernikahan yang dipertahankan, bukan?! Karena itu aku tidak
ambil pusing untuk menikah setelah Dale ada. Kukembalikan kepada Dale. Jika
Dale ingin punya ayah, ya aku usaha cari. Jika Dale tidak ingin punya ayah, ya
sudah cukup 2 jalu yang kuurus, Dale dan ayahku. Nambah satu jalu lagi yang
harus kuurus? Bisa pendek umurku.
Bagian Dua
Tentang pertemuan Daisy dengan lelaki spesial yang disebutkan di belakang buku. Tidak terlalu spesial untukku, karena aku tidak suka lelaki berambut gimbal, ataupun bertato. Kuterima ayah Dale yang bertato, hanya karena ia seorang seniman yang menggambar sendiri tatonya dan dengan bodohnya pergi ke tukang tato untuk mendapatkan tato yang digambarnya sendiri. Lalu aku lebih bodoh lagi dengan pertanyaan, apakah sholatku diterima, jika imamnya bertato?! Ya kita lihat saja kelanjutan bab 2, siapakah yang lebih bodoh, Daisy atau aku.
No comments:
Post a Comment