Wednesday, March 2, 2022

Marrying Daisy Bellamy Insight Day02



#maksakeunmaca

#onebookonemonth

#day02

Judul Buku: Marrying Daisy Bellamy

Penulis: Susan Wiggs

Jumlah Halaman: 533

Penerbit: Gramedia

Alih Bahasa: Nur Anggraini

Cetakan Agustus, 2014

Bagian Satu

Membaca buku ini seperti membaca tulisanku sendiri, begitu banyak cabang yang menyertakan Dale, lelaki kecilku. Tentang bagaimana aku yang dulu begitu nekatan, berkali-kali naik roller coaster atau ngedrift sejak SMP tidak terlalu mengkhawatirkanku. Tetapi sejak punya Dale, mengendarai motorpun rasanya aku segan, apalagi karena aku seorang ibu tunggal yang juga harus bertindak sebagai ayah. Jadi rasa menjaga diri demi selalu ada untuk buah hati, benar-benar hal yang absolut dikerjakan. Begitupun dengan Daisy, ia menjadi begitu mudah khawatir.

Yang kurindukan adalah pertemanan yang cukup lama antara Daisy dan Zach sejak semasa mereka SMA, kuliah, hingga kini mereka bekerja bersama. Aku tidak dapat dengan leluasa melakukannya. Aku tidak dapat sebebas Daisy kepada Zach karena yang terjadi di keluargaku, sebagian besar adalah tabu di masyarakat Indonesia. Jadi aku memilih untuk berteman hanya sebatas kaca, sebatas nomor telpon dan sosial media. Ada begitu banyak teman-teman baik yang merangkulku, tetapi aku tidak akan bisa dengan mudah dekat dengan mereka, karena warisan sifat keluargaku yang cenderung mudah menyakiti orang. Aku tidak ingin menyakiti siapapun juga.

Menjalani hidup secara mundur, hidup yang dialami Daisy, itu juga yang terjadi padaku. Saat teman-temanku menikmati masa sekolahnya, aku harus berlaku dewasa dan selalu ada untuk ibu tiriku. Saat teman-temanku kuliah dan mulai merasakan pengalaman pertama mencari kerja, aku justru cari kerja dulu untuk membantu ibu tiri dan membiayai sekolah adikku yang dibantu oleh eyangku. Baru setelah adikku lulus SMA, aku akhirnya bisa fokus menyelesaikan kuliahku. Itupun dihambat oleh pengetahuan baru bahwa aku memiliki child trauma setelah selamat dari hyperventilation syndrome dan panic attack yang hampir merenggut nyawaku. Hingga akhirnya aku harus minggat dari keluarga selama 6 bulan, dan kembali dengan prestasi menerima beasiswa dan menyelesaikan 2 kontrak ikatan dinas sekaligus.   

Yang membedakan antara Daisy denganku dalam mengambil keputusan adalah aku selalu menggunakan logika dan tau konsekuensi dari setiap keputusanku. Penyesalan atau memempertanyakan keputusanku di masa lalu, tidak ada di dalam kamusku. Tidak yang terjadi pada Daisy, kerap kali ia berpikir kembali apakah keputusannya di masa lalu benar.

Kurasa Daisy masih lebih beruntung, anaknya dapat bermalam di rumah ayahnya dan Daisy bekerja dengan baik. Sayangnya tidak ada ayah untuk dapat Dale panggil. Satu-satunya sosok ayah, ya ayahku. Yang sempat juga bukan sosok ayah yang baik untukku. Persamaan lainnya denganku, adalah kendala Daisy dalam mengejar impiannya, waktu. Ya tidak mudah sebagai ibu, berlaku juga sebagai ayah. Tapi hidup memang tidak sepenuhnya milikku. Dari dulu selalu tentang orang tuaku.

Kalau Daisy bisa menangis karena melihat pasangan yang menikah dengan bahagia. Aku sepertinya sudah mati rasa. Tidak ada yang menyenangkan dari arti sebuah pernikahan, karena hanya itu yang kutahu. Aku tau derita anak dalam pernikahan yang dipertahankan, bukan?! Karena itu aku tidak ambil pusing untuk menikah setelah Dale ada. Kukembalikan kepada Dale. Jika Dale ingin punya ayah, ya aku usaha cari. Jika Dale tidak ingin punya ayah, ya sudah cukup 2 jalu yang kuurus, Dale dan ayahku. Nambah satu jalu lagi yang harus kuurus? Bisa pendek umurku.

Bagian Dua

Tentang pertemuan Daisy dengan lelaki spesial yang disebutkan di belakang buku. Tidak terlalu spesial untukku, karena aku tidak suka lelaki berambut gimbal, ataupun bertato. Kuterima ayah Dale yang bertato, hanya karena ia seorang seniman yang menggambar sendiri tatonya dan dengan bodohnya pergi ke tukang tato untuk mendapatkan tato yang digambarnya sendiri. Lalu aku lebih bodoh lagi dengan pertanyaan, apakah sholatku diterima, jika imamnya bertato?! Ya kita lihat saja kelanjutan bab 2, siapakah yang lebih bodoh, Daisy atau aku.   

No comments: