Saturday, October 1, 2016

Vina's Junkthoughts 5: The Last Man Standing, an opening

here's a dialog between a simple lovable man who's actually realizing what he had done wrong, regretting, and tries to make a mend to be a wise trustful one... with an old friend

He: working and preparing a life for Virgi is the only thing that's right in my life. I lost all, company, house, car, bikes, wife, friends.

An old friend: Why don't you make yourself pious, you'll get them back in no time.

He: that'd be a great idea. But not my ex-wife, she's difficult and she's already married.

An old friend: Well, there'll be another. You're young, not ugly, smart, most iimportant thing, she should be a new mom for Virgi. You know step dad... not always safe.

He: LOL, not ugly... oh, I thought that through. Virgi should be with me when she grows up. I'm the first man who has to be there for her.

An old man: That ! is a man! After all, you're the last man standing. You're getting better, while the others don't.

He: Well, I try my best

-adapted from Darkly Dreaming Dexter-

Vina's Junkthoughts 5: Sang Lelaki Terakhir

ada fenomena ibukota yang begitu memilukannya,
Seseorang yang pernah hidup didunia hitam,
kini harus membalikkan keadaan agar memiliki kehidupan yang lebih baik.
Kebenaran yang tersisa hanya, ia bekerja untuk istri dan anaknya,
itupun sangat jauh dari agama.
Hingga semua ia dapatkan, karena yang awalnya berkah untuk istri dan anaknya,
ia jadikan kekayaannya untuk foya-foya.
Mabuk minuman, musik, obat, dan gonta ganti wanita tiap malam pernah jadi kebiasaannya.
Lalu lanjut pagi ia bekerja hingga menjelang siang.
Pulang hanya untuk tidur, bangun menjelang malam,
lalu kembali melakukan maksiat yang sama. 
Jika hidupnya memiliki soundtrack, I took a pill in Ibiza,
cocok sekali dengannya.
Sukses, kaya raya, dikelilingi banyak wanita, 
tapi ia tak pernah bisa membuka hatinya.
Hingga seluruh titipan istri, anak, kekayaan direnggut darinya.
Bunga yang dulu harum dikelilingi teman dan banyak wanita,
kini harus layu, dan ditinggalkan oleh semua.
Tiada pilihan lain, ia memilih pekerjaan yang membalikkan hidupnya.
Berangkat kerja sebelum matahari terbit.
pulang jauh sesudah matahari terbenam.
Ia berharap kebiasaan dan lingkungan barunya ini,
membawanya yang hanya seorang Aquarius menjadi baik.
Menjadi shaleh, ia berproses.
Itupun masih menyisakan kebiasaan buruknya tentang wanita,
yang menyebabkannya harus kehilangan dua jarinya.
Ia kehilangan lagi, 
tetapi ia selalu bangkit kembali, 
sendiri.
Hingga yang dahulu hitam, kini putih sekali,
walau sekitarannya terus mengkhianati,
dan terpuruk berkali - kali,
hanya ia yang terus berusaha sekuat hati.
Kegigihannya inilah yang juga akhirnya menaklukkan satu wanita,
yang kononnya sangat sulit untuk dibawa hidup bersama,
mengikat janji setia selamanya.
He's the last man standing.
- Vina's Junkthoughts 5: Sang Lelaki Terakhir, sebuah pembukaan-

-Sekilas tentang proses penulisan-
Kisah ini merupakan sebuah karya fiksi psikologi, dimana penulis berusaha menuliskan apa yang dirasakan oleh sang tokoh. Penulis menyebutnya Post Posh and Plush Syndrome, dimana sang tokoh kehilangan kepercayaan diri, tidak percaya kepada siapapun paska kehidupannya yang sukses, keren, kaya raya, punya segalanya, lalu seluruhnya direnggut darinya. Seperti para muslim biasa menyebut: harta, tahta, wanita, anak hanya titipan Allah yang suatu waktu dapat diambil oleh pemilik sejati-Nya. Begitulah roda kehidupan, adanya saatnya diatas, ada saatnya dibawah. Seperti sang sahabat penulis selalu mengingatkan: Hidup itu seperti naik sepeda, supaya seimbang, kamu harus selalu mengayuh pedalnya, move on, dan terus bergerak.
Sosok inspirasinya memang nyata, namun ceritanya tidak seutuhnya benar, hanya mencoba menuliskan simbol-simbol kehidupan underground Kota Jakarta yang katanya:"Kejamnya Ibu Kota Lebih Kejam Dari Ibu Tiri". Namun tidak seperti yang dialami oleh penulis, istilah itu dirasakan sebaliknya. Jadi sang penulis menuliskan kisah tersebut sekejam-kejamnya. Ia ingin agar para pembaca menyadari hidup itu kejam, begitupun ibu kota dan ibu tiri. Sang penulis ingin agar para pembaca menjadi manusia fleksibel. Karena yang akan bertahan adalah bukan orang yang terkuat, tetapi yang fleksibel terhadap perubahan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, namun juga tidak meninggalkan etika moral dan agama. 

"Science without Religion is lame. Religion without Science is Blind" -Albert Einstein-

"Seluruh cinta yang gagal, kujadikan karya yang tak dapat disangkal" -sang penulis sepi-

"Lebay...!!!!" -Rachman Virgi(bukan nama asli),nara sumber- lalu ia bernyanyi... You know I'm no good-nya Amy Winehouse... "Kamu tau... aku gada bagus-bagusnya".Seandainya nara sumber menyadari, kata-kata itu lebih pantas diucapkan oleh sang penulis sendiri. Atau mereka memang diciptakan serupa untuk suatu waktu bertemu lalu saling mengingatkan agar memiliki kehidupan yang lebih baik lagi.Aamiin to that.

click here for English Version

Friday, May 27, 2016

Entry#4: Sang Raja Sirkus

kenalkan aku si seniwati dongeng, kuciptakan kamu sang raja sirkusku, Beraksilah disana sesuka hatimu, kuciptakan rangkaian dongeng untukmu, panggil aku laba-laba Black Widow, merajalah diantara pilinan jaring dongengku, biar aku runut satu persatu, hingga mencapai kamu, dan kamu jatuh ketanganku, mangsa terakhirku.
Aku hanya bagian dari semesta-Nya.
dan kamu hadiah yang harus kujaga. - Raja Sirkus dan Seniwati Dongeng -

Monday, May 23, 2016

Entry#3: Sang Pria Penggoda



Tampan dan tidak sopan,

Kupanggil kau: pria penggoda.

Mario Ferka bukan nama sepadan,

kuciptakan untukmu sebuah sebutan,

Aku yang terbiasa dengan arti dari nama-nama,

Ferly, lalu nama tengah dengan akhiran A,

pria penggoda, kamu begitu sempurna.

     Enne masih tersenyum ketika Pak Sanjaya berlalu dan pindah kemeja berikutnya. Kali ini giliran Enne untuk berdiam di meja dan menunggu lelaki berikutnya mendatangi mejanya. Karena Pak Sanjaya yang mirip Jeff Goldblum masih membuatnya tersenyum konyol, Enne tidak memperhatikan lelaki berikutnya yang duduk didepannya.



"Halo, pintar! Kamu sedang senyum sama siapa?", sapa lelaki tersebut.



     Enne tertegun, karena suara tersebut sangat familiar seperti suara-suara penyiar radio dan dengan pilihan kata yang sangat cerdas serta menyamankan. Saat Enne menoleh ke lelaki tersebut, Enne berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan menahan napas dan tersenyum menahan gugup, lelaki itu adalah lelaki tinggi yang tadi diperhatikannya dihall depan. Enne menggigit bibirnya dan tidak dapat berkata-kata.



"Hei, kok malah gigit bibir, ditanya sedang senyum sama siapa?", lelaki itu bertanya dengan lembut sambil sedikit cengengesan. 
Tawa kecilnya terkesan lebih meledek ketimbang tawa yang bersifat ramah. Boyish, pikir Enne, kamu masih lelaki, belum pria nampaknya. Secepatnya Enne menjawab walaupun masih dengan senyum tersipu,

"Itu pria disana mirip Jeff Goldblum, hahaha", Enne tertawa kecil mencoba menyembunyikan refleksnya untuk tidak menggigit bibir lagi.



"Siapa itu? kamu suka dia?", kini dahi lelaki itu mengerut dan seketika raut mukanya berubah serius.



Enne merasakan rasa yang rumit. Lelaki ini bertanya dengan jujur bahwa ia tidak tahu, tetapi juga menyiratkan kecemburuan dan rasa ingin tahu secara bersamaan. Lelaki ini cukup kompleks, pikir Enne. Bagaimana sekian ekspresi berbeda bisa dia keluarkan secara sekaligus. Jujur, tidak gengsi, apa adanya, dominan, protektif, penuh rasa ingin tahu, dan sedikit cemburu disaat bersamaan. Bagaimana sekian kepribadian dapat dia keluarkan dalam waktu sesingkat ini. Menarik, pikir Enne.



"Ngga tau Jeff Goldblum?! He's a Hollywood celebrity.", Enne tidak sengaja mengeluarkan English-nya karena ia merasa cukup gugup. Speaking in English membantunya cepat merangkai kata-kata dan mengatasi kegugupannya. 



"No.", jawab lelaki tinggi didepannya kini dengan bagian dalam alis yang terangkat. 

Ia mengisyaratkan Enne untuk tidak melanjutkan penjelasannya karena buatnya adalah lebih penting untuk mengenal Enne dibanding hal lainnya. Lalu lelaki itu tersenyum serta menyodorkan tangan memperkenalkan diri,



"Mario...panggil saja Rio atau Iyo, atau apapunlah sesukamu,he he..".



Enne tertegun dengan tangan berjari jenjang itu. Panjang jarinya satu ruas lebih panjang dari jari jemari Enne yang sering dibilang jenjang oleh banyak orang. Kini ada lagi yang lebih jenjang. Raksasa, pikir Enne. Mungkin kamu cocok jadi pemeran the Selfish Giant, drama anak-anak favorit Enne. Hanya saja terlalu cepat untuk Enne memberi gelar'Selfish' padanya karena dia baru saja mengenal lelaki itu. Enne seperti merasa mulai dapat membalikkan teori relativitas. Singkat, namun penuh makna. Inilah imajinasi tanpa batas. Apakah Enne tengah jatuh cinta,  

masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan kearah sana. Lalu secepatnya Enne menjawab,



"Adrienne..panggil saja Enne."



"Enne.. Ennak Enak?!", lelaki itu berkelakar dengan spontan sambil tertawa kecil.



OK, tampan, juga tak sopan, pikir Enne. Kini ekspresi Enne berubah menjadi biasa. Enne agak terusik karena lelaki tersebut bercanda dengan namanya sebagai objek bahan tertawaan. 

Lelaki tersebut menyadari perubahan ekspresi Enne lalu menimpali,



"Sorry... nama panjangku juga tidak terlalu bagus, Mario Ferka. Kalau kamu?", lelaki tersebut membayar kekecewaan Enne dengan menunjukkan rasa minat yang lebih tinggi. Tapi Kali ini lagi-lagi dengan sikap Gentleman menyebut diri lebih dahulu.



"Jangan tertawa... Adrienne Seniwati. Ibuku seorang seniwati, dan ia sangat mencintai seni. Ia lahir di jogja, juga seorang penyanyi gereja. Tapi aku tidak bisa menyanyi..", Enne hampir tidak mempercayai dirinya dapat berbicara sebanyak itu dan mengeluarkan sekian banyak informasi kepada lelaki yang baru dikenalnya itu, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.



"Mario Ferka, nama yang tidak lazim. Anda blasteran?.. maksud saya, keturunan asing?", Enne merasa bahasanya tidak patut dan mencoba menyembunyikan sifat to the point dan blak-blak-annya.

Lelaki itu tersenyum lemas sambil sedikit mendengus seperti yang kecewa,



"Ya... papah yang memberikan nama itu. Aku juga tidak terlalu menyukainya, nama tengahku seperti nama wanita. Tapi cukup berguna ditempatku bekerja, tidak lazim dan menarik banyak penonton, cukup berguna.... Aku keturunan Sumatra... bisa lihat loreng harimauku?! ... tapi aku muslim sejati...", lagi-lagi lelaki itu bercanda tanpa ekspresi yang berarti dengan Poker Face-nya, Enne dipaksa untuk tersenyum dan menelan tawa. 

     Enne seperti diajak naik wahana Kora-Kora di Dunia Fantasi lalu duduk dibagian paling ujung. Dibawa biasa, becanda, lalu tiba-tiba serius diakhirnya. Enne hanya tersenyum, menutup sebelah wajahnya dan pikirannya menggumam: kelakuan...kelakuan. 



"Seniwati... apakah kamu artis? tapi kurasa bukan. Body language dan caramu berpakaian menunjukkan kamu wanita pintar. Mungkin seseorang dengan gelar pendidikan tinggi? !...",



     Enne baru saja membuka mulutnya akan mengatakan sesuatu namun lelaki tersebut menyambung kata-katanya tadi,



"Keturunan Jogja, ibumu penyanyi?! Kamu bisa jadi artis ditempatku, tapi aku tidak akan rela. Kalau kamu terkenal lalu lupa dan meninggalkan aku.".



     Lagi-lagi Enne dibuat tertawa kecil. Bagus, cerewet, sangat cerewet, pikir Enne. Yang seperti inilah yang kucari.



Tapi sayangnya, ini pria penggoda, tampan,

juga tak sopan. Dan Enne merasa bahwa 

Mario Ferka bukan nama sepadan,

kuciptakan untukmu sebuah sebutan,
Aku yang terbiasa dengan arti dari nama-nama,
Ferly, lalu nama tengah dengan akhiran A,
pria penggoda, kamu begitu sempurna, pikir Enne.


     Enne hampir tidak mempercayai pikirannya sendiri, secepat itu ia menilai seseorang. Tapi Enne bukanlah wanita yang buta akan cinta. Sebagian pemikiran yang dia kerahkan bahkan untuk hubungan percintaan, selalu berdasarkan logika. Mungkin ia sedang menjadi penilai karakter yang baik saja, pikirnya. Lamunan Enne dipecahkan lagi oleh lelaki itu,



"Kok hanya tertawa, lalu apa pekerjaanmu? dosen? kamu terlihat seperti wanita kota yang tangguh."



     What?? kamu memuji?! kepribadian yang mana lagi ini, sesaat tadi kamu sedang jadi badut yang membuatku terpingkal-pingkal. Sekarang...



"Tidak, aku tidak cukup pintar menularkan ilmuku. Aku membantu orang-orang gila sepertimu supaya menjadi sehat...", Enne menjawab sekenanya lalu baru menyadari kalimatnya dapat menjadi ambigu atau bahkan menyinggung lelaki itu. 

Lalu Enne membuka sedikit mulutnya tapi tidak tahu harus berkata-kata apa, ia tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk memperbaiki kalimat sebelumnya. Akhirnya, ia kembali menggigit bibirnya.



"Hei, sudah kubilang jangan menggigit bibir. Jangan menggodaku, nanti saja kalau sudah halal. Kamu belum menikah kan?",lelaki itu bukannya tersinggung disebut gila tapi malah khawatir akan Enne yang terlihat merasa bersalah, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Enne akhirnya dapat tersenyum lagi dan menjawab,



"Kalau sudah menikah, tidak mungkin aku ada disini...", jawab Enne mantap.



"Jawaban yang sangat tepat dari seorang wanita pintar. Tadi kau bilang bisa membantu orang gila sepertiku, lalu apa pekerjaanmu? ini sepertinya menarik. Seru nih. Sebelum 5 menitnya habis, boleh kuminta pin BB mu atau nomer telponmu?", lelaki itu berbicara secepat sebuah gelombang pikiran, mengingatkan Enne pada tokoh BBC Sherlock favoritnya, dan Enne tidak menyangka endingnya adalah meminta nomer telponnya. Lelaki ini cerdas, pikir Enne. Lalu Enne menyebutkan nomer telponnya yang dilanjutkan dengan lelaki tersebut menelpon Enne langsung untuk memastikan nomornya benar dan tersambung.


punya Pulsa?! punya dong. Ferly syahputra gitu lowh.



Sunday, May 22, 2016

vina's junkthoughts 4: Raja Sirkus dan Seniwati Dongeng, Pertemuan Pertama: Imajinasi Tanpa Batas, dan Teori Relativitas

habis sudah fantasi liarku tentangmu, 
kau tepis dengan jatuhnya harga diri dan rasa malu malam itu, 
manifestasi dari prinsip yang selalu kau dengung-dengungkan ditelingaku, 
cover buku yang tebal, usang, tergores disana-sini serta berdebu, 
namun isinya menggemakan manisnya kebijaksanaanmu, 
memang sepertinya happy ending nan membosankan cocok menyiksa wanita 
yang terbiasa dengan kejamnya dunia, 
atau yang biasa menonton film thriller dan horror sambil tertawa. 
Seperti kata mereka, 
tampan, penyayang, badut yang selalu gembira, 
preman berhati merah muda, 
siksa aku dengan kekuatan memanjakanmu, 
buat aku bahagia selamanya. 
- Raja Sirkus dan Seniwati Dongeng -


Pertemuan Pertama: Imajinasi Tanpa Batas, dan Teori Relativitas


     Enne tidak pernah menyangka akan tertarik dengan lelaki yang sangat jauh berbeda darinya. Ibarat memakai sendal jepit yang sama ukuran tapi beda warna. Lelaki itu seperti mengisi bolong yang ada padanya, lalu Enne merasa sempurna.
     
      Pertemuan mereka bermulai pada acara kencan buta masal yang baru pertama kali diadakan dikota Enne bekerja terakhir kali. Enne merasa acara tersebut konyol sekaligus menarik dan akhirnya ia mendatanginya. Buat lucu-lucuan, pikir Enne. Seperti biasa, Enne datang seorang diri lalu tertarik dengan sekumpulan lelaki yang sedang bergerombol. Selain suara mereka bising sekali, Enne tertarik dengan salah satu diantaranya yang sedang tertawa lebar nan sumringah. Bukan karena tawanya, suaranya, tapi karena tingginya. Ya, dia yang paling tinggi diantara semuanya. Enne selalu percaya, lelaki tinggi memiliki pemikiran cemerlang dan ia cenderung merendah karena tingginya. Kebalikan dengan lelaki pendek yang selalu ingin terlihat tinggi.

     Enne sudah sering berkencan dan menjalin hubungan, jadi teori ini sudah sering ia praktekkan dan hasilnya memang memuaskan. Enne mendapat teori ini dari kakeknya yang mantan penerbang angkatan bersenjata negara, dan juga instruktur psikolog perwira.

Tingginya, pikir Enne, lalu sudah, begitu saja. Sisanya tidak ada yang menarik, pikir Enne. Semua orang baik wanita maupun pria akan menoleh kepada lelaki itu, ya hanya karena tingginya. Atau mungkin juga bahunya yang lebar, pikir Enne. Dahi Enne agak mengerut, apakah lelaki tinggi ini juga seorang prajurit. Karena Enne tidak menemukan tulang punggung yang membengkok. Lelaki itu berdiri tegap dengan tingginya. Tidak sedikitpun Enne menemukan tanda-tanda lelaki tersebut sedikit membungkuk atau minder akibat tingginya. Tidak, lelaki ini menerima postur dan memanfaatkan tinggi tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Seorang lelaki yang bangga dengan apa yang dia punya, pikir Enne.

     Lalu Enne mulai tertarik untuk menganalisa postur lelaki tersebut lebih jauh. Ilmu seni proporsinya tidak dapat ia acuhkan begitu saja. Enne merasa harus menganalisa proporsi tubuh lelaki itu, dan ia juga memperhatikan gerak - gerik lelaki itu. Bagaimana ia mengayunkan tangan diatas pinggang, atau bagaimana kakinya yang jenjang tengah melangkah. Enne menemukan hal itu sangat luar biasa. Enne tidak pernah menemukan proporsi tubuh yang begitu sempurna. Enne teringat model gerakan manusia yang ia rancang pada komputernya. Pada saat itu, Enne hanya merancang dimensinya, sementara gerakan tergantung dari pasien yang dilekatkan alat sensor gerakan, sementara gerakan yang dihasilkan dan terlihat dilayar komputer adalah program yang telah lebih dulu dikembangkan. Enne tinggal memakainya begitu saja dan menyempurnakan dimensinya sebelum dijual ke produsen alat pemeriksa kesehatan jantung pasien.

     Enne merasa harus menganalisa lelaki tersebut lebih jauh dan ia mulai memperhatikan bahunya yang lebar. Semakin sempurna, pikir Enne. Enne lagi-lagi teringat bagaimana kakeknya selalu mendengung-dengungkan lelaki berbahu lebar, memiliki pemikiran yang luas, ngemong, dan dapat diandalkan. Selain bahu sang kakek juga lebar, ilmu psikologinya membuktikan hal yang sama. Kakek Enne lah yang mengasuhnya setelah orang tuanya bercerai, lalu berkali-kali ayah Enne menikah dengan wanita yang salah. Atau ibu yang hanya ditemui Enne sekali setelah terpisah selama 29 tahun. Hidup Enne yang terlalu tidak realistis mendorongnya untuk tenggelam dalam studi nya. Hingga ia menjadi doktor perancang alat kesehatan. Kemampuan teknik dan cintanya pada seni menjadikannya mudah menyelesaikan sarjana elektro, master desain, lalu ia mendapat beasiswa desain khusus alat perancang kesehatan. Eng, Dpl yang selalu diidam-idamkannya.

     Mata Enne terbiasa melihat perhitungan matematika dan seni proporsi untuk membuat desain alatnya menjadi indah, fungsional, sekaligus efektif digunakan. Lalu kebiasaannya inilah yang akhirnya memberikan kesimpulan bahwa lelaki tersebut memiliki postur tubuh yang sempurna. Lalu tanpa sadar Enne membuka sedikit mulutnya karena tenggelam dalam pikirannya yang hanya beberapa detik. Seperti teori relativitas, Enne seperti merasa dirinya sedang bekerja, lalu duduk diatas kompor menyala yang membuatnya seperti tersiksa berjam-jam lamanya padahal ia hanya berpikir beberapa detik. Keahliannya yang sudah melebihi manusia-manusia lainnya dalam menganalisa, menyiksanya dalam teori relativitas ini. Yang Enne perlukan adalah jatuh cinta supaya siksaan teori relativitas kompor panas itu dapat ia balikkan. Tapi untuk sementara, belum ia temukan manusia yang dapat membuatnya jatuh cinta. Mungkin nanti, setelah acara berjalan, diantara para cecunguk ini, setidaknya ia tidak akan pulang sendirian.


#Entry 2: Mencari Pria Cerewet

     Mulut Enne yang sedikit terbuka, serta pandangannya yang hanya tertuju pada lelaki tersebut, membuat sang lelaki menyadari ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. Lalu ia menoleh ke arah Enne dan mereka bertemu pandang. Enne menjadi membelalak karena tidak tahu harus berbuat apa pandangannya tertangkap oleh sasarannya. Tak terduga oleh Enne, lelaki itu tersenyum lembut. Lalu Enne menemukan hal menakjubkan lainnya, manis, pikir Enne. Enne terlihat salah tingkah, menelan ludah, menarik ujung bibirnya, dan terlihat seperti senyum terpaksa, lalu mengalihkan pandangannya. Silly me, pikir Enne. Belum juga semeja dengan kencan butanya sudah ketauan tertarik pada seseorang. Bergerombol pula. Yang Enne pikirkan adalah gerombolan itu pasti akan mudah mencirikannya setelah ia tertangkap mengamati salah satu dari mereka. Enne mengambil nomor kemudian duduk dimeja yang telah ditentukan, mejanya telah diisi oleh seorang pria setengah botak berkacamata.

     Ia terlihat ramah, namun jelas bukan pria yang akan Enne bawa pulang. Enne merasa melanggar etika kerjanya jika membawa pulang pria yang hampir sama perawakannya dengan yang ia temui ditempat kerja sehari-hari. No, cukup ditempat kerja, tidak untuk pergi keluar bersama. Mengejutkan namanya Edward, lalu Enne teringat Edward Cullen tokoh didalam buku Twilight. Hahaha, Ok, jauh. Lalu Enne mengenalkan diri, " Adrienne, panggil Enne saja", lalu pria itu melanjutkan mungkin mereka jodoh karena nama mereka memiliki inisial yang sama. Enne tidak banyak bicara dan membiarkan sang pria berbicara banyak, namun tetap sopan menjawab pertanyaan. Ia juga akhirnya tahu bahwa sang pria adalah keturunan Tionghoa asli yang memiliki mata besar. Hal itu tentunya menjelaskan namanya yang kebarat-baratan. Enne hanya berharap 5 menit dengan pria tersebut dapat berlalu tanpa ia harus memberikan nomor telpon atau pin BB nya. Dan yak, 5 menit berlalu Enne langsung pindah ke meja berikutnya.

     Edward setengah berteriak dari mejanya menanyakan nomor telpon Enne. Enne hanya tersenyum melihatnya, lalu salah satu pembawa acara menegur Edward, " Maaf pak, waktu anda habis, silahkan berbicara dengan wanita yang ada dimeja anda saja.". Enne merasa dibela oleh sang pembawa acara, lalu tersenyum mengisyaratkan terima kasih. Sang pembawa acara tersenyum lebih lebar dengan leganya. Ia merasa sudah memberikan yang terbaik untuk klien wanitanya, sebuah perlindungan konsumen. Pria yang kali ini ada dihadapan Enne mirip selebriti Hollywood, pikirnya. Enne teringat Jeff Goldblum. Tinggi kurus berkulit gelap, juga memakai kacamata. Enne dapat menerka bahwa ia keturunan India. Ini juga salah satu kegemaran Enne mengikuti acara seperti ini, ia dapat mengasah memori otaknya agar peka terhadap bentukan wajah dan nama-nama. Ia tahu hal tersebut mencegahnya dari terserang Alzheimer, ditambah konsumsi pisang minimal sehari 2 kali tentunya.


     Enne mengetahui namanya Sanjaya, sesuai dengan perkiraan Enne bahwa pria tersebut memang keturunan India. Mereka tidak banyak berbicara hanya banyak tersenyum dan minum. Senyumnya memang manis, tetapi tidak untuk dibawa pulang. Pak Sanjaya, begitu Enne memanggilnya, terlalu pendiam dan tidak cocok untuk Enne yang juga pendiam, pikir Enne. Enne butuh lelaki yang cerewet, super cerewet dan membuatnya terus sibuk hingga tidak mampu berpikir apa-apa karena harus mendengarkan si pria cerewet. Namun dimanakah sang pria cerewet, Enne masih mereka-reka hingga berapa lama lagi ia harus berganti meja untuk mendapatkan pria cerewet yang bisa dia kencani.

next ---> Entry#3: Sang Pria Penggoda.