habis sudah fantasi liarku
tentangmu,
kau tepis dengan jatuhnya harga diri dan rasa malu malam itu,
manifestasi dari prinsip yang selalu kau dengung-dengungkan ditelingaku,
cover
buku yang tebal, usang, tergores disana-sini serta berdebu,
namun isinya
menggemakan manisnya kebijaksanaanmu,
memang sepertinya happy ending nan
membosankan cocok menyiksa wanita
yang terbiasa dengan kejamnya dunia,
atau
yang biasa menonton film thriller dan horror sambil tertawa.
Seperti kata
mereka,
tampan, penyayang, badut yang selalu gembira,
preman berhati merah muda,
siksa aku dengan kekuatan memanjakanmu,
buat aku bahagia selamanya.
- Raja
Sirkus dan Seniwati Dongeng -
Pertemuan
Pertama: Imajinasi Tanpa Batas, dan Teori Relativitas
Enne
tidak pernah menyangka akan tertarik dengan lelaki yang sangat jauh berbeda
darinya. Ibarat memakai sendal jepit yang sama ukuran tapi beda warna. Lelaki
itu seperti mengisi bolong yang ada padanya, lalu Enne merasa sempurna.
Pertemuan mereka
bermulai pada acara kencan buta masal yang baru pertama kali diadakan dikota
Enne bekerja terakhir kali. Enne merasa acara tersebut konyol sekaligus menarik
dan akhirnya ia mendatanginya. Buat lucu-lucuan, pikir Enne. Seperti biasa,
Enne datang seorang diri lalu tertarik dengan sekumpulan lelaki yang sedang
bergerombol. Selain suara mereka bising sekali, Enne tertarik dengan salah satu
diantaranya yang sedang tertawa lebar nan sumringah. Bukan karena tawanya,
suaranya, tapi karena tingginya. Ya, dia yang paling tinggi diantara semuanya.
Enne selalu percaya, lelaki tinggi memiliki pemikiran cemerlang dan ia
cenderung merendah karena tingginya. Kebalikan dengan lelaki pendek yang selalu
ingin terlihat tinggi.
Enne sudah sering berkencan dan menjalin hubungan, jadi teori
ini sudah sering ia praktekkan dan hasilnya memang memuaskan. Enne mendapat
teori ini dari kakeknya yang mantan penerbang angkatan bersenjata negara, dan
juga instruktur psikolog perwira.
Tingginya, pikir Enne, lalu sudah, begitu saja.
Sisanya tidak ada yang menarik, pikir Enne. Semua orang baik wanita maupun pria
akan menoleh kepada lelaki itu, ya hanya karena tingginya. Atau mungkin juga
bahunya yang lebar, pikir Enne. Dahi Enne agak mengerut, apakah lelaki tinggi
ini juga seorang prajurit. Karena Enne tidak menemukan tulang punggung yang
membengkok. Lelaki itu berdiri tegap dengan tingginya. Tidak sedikitpun Enne
menemukan tanda-tanda lelaki tersebut sedikit membungkuk atau minder akibat tingginya.
Tidak, lelaki ini menerima postur dan memanfaatkan tinggi tubuhnya dengan
sebaik-baiknya. Seorang lelaki yang bangga dengan apa yang dia punya, pikir
Enne.
Lalu
Enne mulai tertarik untuk menganalisa postur lelaki tersebut lebih jauh. Ilmu
seni proporsinya tidak dapat ia acuhkan begitu saja. Enne merasa harus
menganalisa proporsi tubuh lelaki itu, dan ia juga memperhatikan gerak - gerik
lelaki itu. Bagaimana ia mengayunkan tangan diatas pinggang, atau bagaimana
kakinya yang jenjang tengah melangkah. Enne menemukan hal itu sangat luar
biasa. Enne tidak pernah menemukan proporsi tubuh yang begitu sempurna. Enne
teringat model gerakan manusia yang ia rancang pada komputernya. Pada saat itu,
Enne hanya merancang dimensinya, sementara gerakan tergantung dari pasien yang
dilekatkan alat sensor gerakan, sementara gerakan yang dihasilkan dan terlihat
dilayar komputer adalah program yang telah lebih dulu dikembangkan. Enne
tinggal memakainya begitu saja dan menyempurnakan dimensinya sebelum dijual ke
produsen alat pemeriksa kesehatan jantung pasien.
Enne
merasa harus menganalisa lelaki tersebut lebih jauh dan ia mulai memperhatikan
bahunya yang lebar. Semakin sempurna, pikir Enne. Enne lagi-lagi teringat
bagaimana kakeknya selalu mendengung-dengungkan lelaki berbahu lebar, memiliki
pemikiran yang luas, ngemong, dan dapat diandalkan. Selain bahu sang kakek juga
lebar, ilmu psikologinya membuktikan hal yang sama. Kakek Enne lah yang
mengasuhnya setelah orang tuanya bercerai, lalu berkali-kali ayah Enne menikah
dengan wanita yang salah. Atau ibu yang hanya ditemui Enne sekali setelah
terpisah selama 29 tahun. Hidup Enne yang terlalu tidak realistis mendorongnya
untuk tenggelam dalam studi nya. Hingga ia menjadi doktor perancang alat
kesehatan. Kemampuan teknik dan cintanya pada seni menjadikannya mudah
menyelesaikan sarjana elektro, master desain, lalu ia mendapat beasiswa desain
khusus alat perancang kesehatan. Eng, Dpl yang selalu diidam-idamkannya.
Mata
Enne terbiasa melihat perhitungan matematika dan seni proporsi untuk membuat
desain alatnya menjadi indah, fungsional, sekaligus efektif digunakan. Lalu
kebiasaannya inilah yang akhirnya memberikan kesimpulan bahwa lelaki tersebut
memiliki postur tubuh yang sempurna. Lalu tanpa sadar Enne membuka sedikit
mulutnya karena tenggelam dalam pikirannya yang hanya beberapa detik. Seperti
teori relativitas, Enne seperti merasa dirinya sedang bekerja, lalu duduk
diatas kompor menyala yang membuatnya seperti tersiksa berjam-jam lamanya
padahal ia hanya berpikir beberapa detik. Keahliannya yang sudah melebihi
manusia-manusia lainnya dalam menganalisa, menyiksanya dalam teori relativitas
ini. Yang Enne perlukan adalah jatuh cinta supaya siksaan teori relativitas kompor
panas itu dapat ia balikkan. Tapi untuk sementara, belum ia temukan manusia
yang dapat membuatnya jatuh cinta. Mungkin nanti, setelah acara berjalan,
diantara para cecunguk ini, setidaknya ia tidak akan pulang sendirian.
#Entry
2: Mencari Pria Cerewet
Mulut Enne yang sedikit terbuka, serta
pandangannya yang hanya tertuju pada lelaki tersebut, membuat sang lelaki
menyadari ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. Lalu ia menoleh ke arah
Enne dan mereka bertemu pandang. Enne menjadi membelalak karena tidak tahu
harus berbuat apa pandangannya tertangkap oleh sasarannya. Tak terduga oleh Enne,
lelaki itu tersenyum lembut. Lalu Enne menemukan hal menakjubkan lainnya,
manis, pikir Enne. Enne terlihat salah tingkah, menelan ludah, menarik ujung
bibirnya, dan terlihat seperti senyum terpaksa, lalu mengalihkan pandangannya.
Silly me, pikir Enne. Belum juga semeja dengan kencan butanya sudah ketauan
tertarik pada seseorang. Bergerombol pula. Yang Enne pikirkan adalah gerombolan
itu pasti akan mudah mencirikannya setelah ia tertangkap mengamati salah satu
dari mereka. Enne mengambil nomor kemudian duduk dimeja yang telah ditentukan,
mejanya telah diisi oleh seorang pria setengah botak berkacamata.
Ia terlihat ramah, namun jelas bukan pria yang
akan Enne bawa pulang. Enne merasa melanggar etika kerjanya jika membawa pulang
pria yang hampir sama perawakannya dengan yang ia temui ditempat kerja
sehari-hari. No, cukup ditempat kerja, tidak untuk pergi keluar bersama.
Mengejutkan namanya Edward, lalu Enne teringat Edward Cullen tokoh didalam buku
Twilight. Hahaha, Ok, jauh. Lalu Enne mengenalkan diri, " Adrienne,
panggil Enne saja", lalu pria itu melanjutkan mungkin mereka jodoh karena
nama mereka memiliki inisial yang sama. Enne tidak banyak bicara dan membiarkan
sang pria berbicara banyak, namun tetap sopan menjawab pertanyaan. Ia juga
akhirnya tahu bahwa sang pria adalah keturunan Tionghoa asli yang memiliki mata
besar. Hal itu tentunya menjelaskan namanya yang kebarat-baratan. Enne hanya
berharap 5 menit dengan pria tersebut dapat berlalu tanpa ia harus memberikan
nomor telpon atau pin BB nya. Dan yak, 5 menit berlalu Enne langsung pindah ke
meja berikutnya.
Edward setengah berteriak dari mejanya
menanyakan nomor telpon Enne. Enne hanya tersenyum melihatnya, lalu salah satu
pembawa acara menegur Edward, " Maaf pak, waktu anda habis, silahkan
berbicara dengan wanita yang ada dimeja anda saja.". Enne merasa dibela
oleh sang pembawa acara, lalu tersenyum mengisyaratkan terima kasih. Sang
pembawa acara tersenyum lebih lebar dengan leganya. Ia merasa sudah memberikan
yang terbaik untuk klien wanitanya, sebuah perlindungan konsumen. Pria yang
kali ini ada dihadapan Enne mirip selebriti Hollywood, pikirnya. Enne teringat
Jeff Goldblum. Tinggi kurus berkulit gelap, juga memakai kacamata. Enne dapat
menerka bahwa ia keturunan India. Ini juga salah satu kegemaran Enne mengikuti
acara seperti ini, ia dapat mengasah memori otaknya agar peka terhadap bentukan
wajah dan nama-nama. Ia tahu hal tersebut mencegahnya dari terserang Alzheimer,
ditambah konsumsi pisang minimal sehari 2 kali tentunya.
Enne mengetahui namanya Sanjaya, sesuai dengan
perkiraan Enne bahwa pria tersebut memang keturunan India. Mereka tidak banyak
berbicara hanya banyak tersenyum dan minum. Senyumnya memang manis, tetapi
tidak untuk dibawa pulang. Pak Sanjaya, begitu Enne memanggilnya, terlalu pendiam
dan tidak cocok untuk Enne yang juga pendiam, pikir Enne. Enne butuh lelaki
yang cerewet, super cerewet dan membuatnya terus sibuk hingga tidak mampu
berpikir apa-apa karena harus mendengarkan si pria cerewet. Namun dimanakah
sang pria cerewet, Enne masih mereka-reka hingga berapa lama lagi ia harus
berganti meja untuk mendapatkan pria cerewet yang bisa dia kencani.
next ---> Entry#3: Sang Pria Penggoda.
next ---> Entry#3: Sang Pria Penggoda.
No comments:
Post a Comment